Tingkatan
Jiwa
Secara
umum, jiwa memiliki tiga tingkatan atau kondisi : jiwa yang memerintah, jiwa
yang mencela, dan jiwa yang tenang. Ini bukan berarti bahwa setiap orang
memiliki tiga kondisi jiwa ini, namun menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
kondisi yang mungkin terjadi pada sebuah jiwa, seperti yang akan dijelaskan
dibawah ini.
Jiwa
yang memerintah, hal ini kembali
kepada jiwa yang suka memerintah dan menghasut umat manusia kepada kejahatan,
seperti yang telah termaktub pada ayat al-Qur’an berikut ini : “...karena sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku...” (Yusuf
:53)
Ini merupakan tingkatan terendah pada jiwa, yang menggunakan
kata-kata fisik dan memandang tubuh ini dengan hasrat dan untuk kesenangan
belaka. Jiwa ini dikontrol melalui tindakan dan hasrat saja, seperti tidak taat
dan melakukan dosa. Jika sebuah individu membolehkan aspek-aspek hina ini untuk
mengendalikan dirinya, maka mereka akan mulai kehilangan rasa penyesalan atas
perbuatan-perbuatan dosa yang mereka lakukan. Ketika mereka jatuh ke dalam jurang dosa, mereka kehilangan
kemampuan untuk menerima sebuah kebenaran. Kejahatanpun telah mengambil alih
dirinya dan hati mereka menjadi lebih keras, Allah swt telah berfirman : “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka
usahakan itu menutupi hati mereka”. (al-Muthaffifin : 14)
Orang seperti ini menolak menerima bimbingan dari Allah maupun
menjadikan-Nya sebagai pelindungnya. Dalam hal ini, Allah swt. menjadikannya
sebagai teman dari setan.
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah
(Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah
yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-syaitan
itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka
bahwa mereka mendapat petunjuk” (Az-Zukhruf : 36-37)
Setan
akan terus membisiki dan mendorong mereka untuk berbuat kejahatan. Dikarenakan
jiwa ini sudah condong ke arah sana, maka secara sukarela mereka akan tunduk
patuh.
Jiwa
yang mencela. Inilah jiwa
yang mencela diri sendiri, yang mana ia mengakui perbuatan jahat, yang
menyalahkan diri sendiri karena telah melakukan kesalahan dan juga menyesali
kesalahannya. Jiwa ini juga menyalahkan dirinya sendiri karena telah melewatkan
kesempatan untuk berbuat baik. Allah swt. berfirman :
“dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya
sendiri)” (al-Qiyamah
: 2)
Setelah menyadari atas kejahatan dan kesalahan yang telah mereka
perbuat, orang-orang dengan jiwa ini akan bertaubat kepada Allah swt. dan
berusaha untuk memperbaiki diri.
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui” (Ali-Imran
: 135)
Jiwa ini akan selalu goyah diantara melakukan kebaikan dan
keburukan.
Jiwa
yang tenang. Dikarenakan
iman yang telah mengakar pada diri seseorang, kecendrungan untuk berbuat jahat
menjadi lemah. Jiwanya didominasi untuk berbuat kebenaran. Ia mencintai serta
menginginkan kebaikan dan membenci kejahatan. Karena itu, ia tidak mematuhi
dorongan untuk berbuat kejahatan. Inilah standar dari jiwa yang tenang.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam surga-Ku.” (al-Fajr :
27-30).
Ketika
kebaikan telah mendominasi, maka jiwa ini merasakan ketenangan dan kedamaian.
Jiwa ini tunduk dan patuh kepada Allah swt. dan merasa senang atas apa yang Ia
tetapkan dalam segala hal. Melalui hubungan yang kuat dengan Sang Pencipta,
mereka dapat mengendalikan hasrat dan keinginan mereka serta membuang jauh-jauh
keinginan untuk berbuat jahat.
Individu
yang seperti ini pada intinya telah memahami tujuan penciptaan mereka, yaitu
beribadah dan taat kepada Allah swt. semata. Ini adalah tingkatan yang dapat
dicapai dalam kehidupan ini, dan menjanjikan orang-orang yang beriman akan
kenikmatan dunia akhirat.
Oleh : Dr. Aisha Utz (Psychology from the Islamic Perspective)
Diterjemahkan oleh : Adnin Zahir
Tidak ada komentar: