Sebelum
memasuki pembahasan terkait “Jiwa”, akan lebih baik bagi kita untuk mengenal
beberapa kata kunci.
Ar-Ruh ( الروح )
Kata
Ar-Ruh (yang artinya spirit, jiwa, nafas kehidupan) digunakan dalam
al-Qur’an dalam berbagai metode yang merujuk pada zat metafisik seperti
malaikat, wahyu, ilham ilahi. Juga pula digunakan untuk menandakan kebatinan
manusia atau jiwa, merupakan unsur yang memberikan kehidupan pada jiwa dan raga
dengan menyebar ke seluruh anggota tubuh. Ar-Ruh juga membimbing
perasaan, pikiran, perilaku, keinginan seorang manusia. Ia merupakan inti dari
anggota badan, yang mana ketika jiwa itu terhapus akan menyebabkan fungsi dari
anggota tubuh itu terhenti.
Nafs ( نفس )
Kata
lain yang sering digunakan dalam al-Qur’an yang merujuk kepada jiwa yaitu Nafs
(anfus atau nufuus). Kata ini sebenarnya memiliki dua makna,
jiwa manusia dan diri itu sendiri, tergantung pada konteks yang berlaku.
Terkadang ia digunakan merujuk kepada jiwa atau spirit, dan kadang pula merujuk
terhadap sesuatu yang berhubungan dengan badan atau diri itu sendiri. Penggunaan
yang berbeda ini menunjukkan adanya ikatan yang kuat antara jiwa dan badan itu
sendiri.
Karzoon,
dalam buku “Purification of The Soul” karya Jamaal al-Din Zarabozo, mendefinisikan
Nafs dengan :
“Suatu objek internal manusia yang tak dapat dirasakan. Ia siap
menerima kepada jalan kebaikan atau keburukan, yang menggabungkan berbagai ciri
dan karakteristik yang memberikan dampak nyata pada kepribadian manusia”.
Mayoritas
cendekiawan muslim menganggap bahwa kata Nafs dan Ruh dapat dipertukarkan. Perbedaan utama (dari
keduanya) adalah bahwasanya Nafs merujuk kepada jiwa yang berada didalam tubuh
manusia, sedangkan Ruh digunakan
ketika jiwa itu terpisah dari tubuh manusia. Memang, penggunaan ini tidak
selamanya terjadi, seperti yang terdapat dalam beberapa hadits.
Terdapat
2 hadits yang menyatakan bahwa Ruh / Nafs terangkat dari tubuh
manusia ketika kematian :
إِنَّ
الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ ( رواه مسلم)
“Sesungguhnya
Ar-Ruh ketika terangkat, maka penglihatan mengikutinya” (HR. Muslim)
أَلَمْ
تَرَوُا الْإِنْسَانَ إِذَا مَاتَ شَخَصَ بَصَرُهُ؟ قَالُوا: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ
حِينَ يَتْبَعُ بَصَرُهُ نَفْسَه
“Tidakkah
kamu melihat bahwa ketika seseorang meninggal, pandangannya tertuju dengan
tajam? Mereke berkata : ya. Nabi melanjutkan :
Itu terjadi saat penglihatannya mengikuti nafsnya”. (HR. Muslim)
Dua
hadits diatas dengan jelas mengindikasikan adanya pertukaran penggunaan kata Ruh
dan Nafs dalam hubungannya dengan jiwa, namun sangat kecil perbedaan
penggunaan dalam dua kata ini.
Al-Kanadi,
berkaitan dengan jiwa, ia menyandarkan perkataannya melalui pendapat Ibnu
al-Qayyim :
“Jiwa
merupakan sesuatu yang berbeda dengan fisik, badan yang nyata (nampak
dilihat).Ia merupaka jenis yang lebih bercahaya, hidup dan bergerak, merasuk
pada anggota badan, mensirkulasi mereka seperti peredaran air pada daun bunga,
peredaran minyak pada zaitun, api yang membakar bara. Karena itu sangat masuk
akal kalau ia mendapatkan perasaan jiwa dan menempati anggota badan, bentuknya
non-fisik yang memasuki sang raga.”
Baca : Kodrat Jiwa (2)
Oleh : Dr. Aisha Utz (Psychology from the Islamic Perspective)
Diterjemahkan oleh : Adnin Zahir
Tidak ada komentar: